Cari Blog Ini

bisnis paling gratis Photobucket Bisnis Dahsyat tanpa modal

Sabtu, 06 November 2010

Peranan Imunostimulan Dalam Meningkatkan Sintasan Benur Windu (Penaeus Monodon, Fab) Terhadap Serangan Virus Wssv


 


 

Ilmiah

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makasar

Email: ilmi-umi@yahoo.co.id


 


 

ABSTRACT


 

Background:
The use of
Chemistry substances can give negative effect in enviroment and caused pathogen resistency. To avoid those problems, the effort to increase the immune system with enviromentally friendly was the best choice. The aim of the research is to know the type of immuno stimulant increasing the immunity larvae of tiger prawn tested by challenge with WSSV.

Methods: The research has been done in Disease and Pathology Laboratory of Research Institute for Coastal Aquaculture Maros, used tiger prawn post larvae 17-20. The research use completely randomized design with 4 treatments and 3 repetition: A (without immunostimulant), B Vitamin C (0,05 ppm), C (Vaccine Vibrio harveyii) and D (Vaccine virus WSSV). On the day twelfth have been using challenge tested with virus of WSSV concentration LC50. Result: The result of analysis of variance the use immuno-stimulant has significant (P< 0.05) effect on survival rates. The highest survival rates was shown by vaccine WSSV (53,33%), vaccine V. harveyii (41,66%), Vitamin C (38,33%) and without immunostimulant (20%).


 

Key word: Immunostimulant, Tiger prawn, WSSV, Survival rate


 

ABSTRAK

Latar Belakang: Upaya pengendalian yang dilakukan dengan pemakaian bahan-bahan kimia dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan dan menyebabkan resistensi patogen. Untuk menghindari hal tersebut, usaha meningkatkan ketahanan tubuh dengan imunostimulan yang ramah lingkungan merupakan pilihan yang tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan imunostimulan dalam meningkatkan sintasan benur windu terhadap serangan virus WSSV.

Metode: Penelitian telah dilakukan di laboratorium patologi dan penyakit ikan Balai Riset Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan dengan menggunakan benih udang windu ukuran 17-20. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan A (tanpa imunostimulan), B (pemberian 0,05 ppm vitamin C), C (dengan pemberian vaksin Vibrio harveyii), dan D (pemberian vaksi virus WSSV). Pada hari ke-12 dilakukan uji tantang virus WSSV dengan konsentrasi LC 50.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian imuno stimulant memberikan pengaruh nyata (P< 0.05) terhadap sintasan benih udang windu. Nilai sintasan untuk masing-masing perlakuan adalah 53,33% (pemberian vaksi WSSV), 41,66% (vaksin V. harveyii), 38,33% (vitamin C) dan 20% (tanpa pemberian imuno stimulant.


 

Kata kunci: Imunostimulan, udang windu, sintasan.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

 

PENDAHULUAN


 

Budidaya udang di tambak secara intensif telah berkembang sangat cepat dan produktifitasnyapun meningkat, sehingga udang merupakan primadona ekspor perikanan bagi Indonesia, namun akhir-akhir ini produksinya mengalami penurunan dan dilaporkan terjadinya kematian massal. Di Sulawesi Selatan penyakit udang didominasi oleh penyakit vibriosis yang menyerang udang umur rata-rata 2 bulan dengan tingkat serangan mencapai 100% (Anonim,1996).

Penyakit biasanya timbul beberapa hari setelah penebaran dan timbulnya penyakit ini diawali dengan adanya perubahan lingkungan yang mengakibatkan stres pada udang. Stres ini terjadi karena belum adanya penyesuaian dengan lingkungan yang baru. Pemilihan benur, pengangkutan, perubahan suhu, kurangnya oksigen terlarut, adanya gas dan senyawa beracun serta kurangnya makanan mengakibatkan timbulnya stres pada udang, akibatnya produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan akan menurun.

Menurut Lo et al (1996), salah satu jenis virus yang sering menyerang udang adalah Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) atau biasa dikenal dengan White spote baculo Virus (WSBV) atau White Spote Syndrome Virus (WSSV) merupakan penyebab penyakit yang menimbulkan kematian, penyebaran virus ini dapat mengkontaminasi post larva.

Pencegahan dan perluasan penyakit pada udang perlu dilakukan usaha pencegahan secara dini, untuk itu diperlukan diagnosis dan penanganan penyakit yang tepat (Chang dan Wang, 1992). Upaya pengendalian yang dilakukan dengan pemakaian bahan-bahan kimia dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan dan menyebabkan resistensi patogen. Untuk menghindari hal tersebut, usaha meningkatkan ketahanan tubuh dengan imunostimulan yang ramah lingkungan merupakan pilihan yang tepat.

Udang windu seperti halnya crustaceae lainnya hanya memiliki respon kekebalan non spesifik, sehingga diperlukan cara untuk menginduksi kekebalan udang terhadap kemungkinanan serangan patogen. Beberapa substansi diketahui mampu meningkatkan respon kekebalan seperti Lipopolisakarida dan b-Glukan (Secombes, 1994). Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan jenis imunostimulan yang lebih baik dan mampu untuk memacu dan mengoptimalkan respon kekebalan non spesifik homosit udang.

Untuk mencegah terjadinya penyakit pada kegiatan budidaya, saat ini sudah dikembangkan beberapa metode, diantaranya probiotik atau persaingan antara faktor-faktor biologis. Alternatif yang sering dilakukan adalah vaksinasi atau indikasi kekebalan. Selain vaksin juga dilakukan tindakan pemberian imunostimulan berupa vitamin C.

Vitamin C merupakan bahan yang dapat meningkatkan keragaan benih yang dapat berfungsi sebagai stimulan untuk sistem pertahanan tubuh non spesifik sehingga merupakan suatu komponen penting untuk meningkatkan kekebalan non spesifik (Secombes, 1994). Sedangkan vaksin adalah suspensi patogen hidup yang sudah dilemahkan atau dimatikan, bagian dari patogen atau substrat yang merupakan produk patogen yang bersifat antigenik, imunogenik dan protektif apabila masuk ke dalam tubuh akan merangsang timbulnya antibody (ab) yang menyebabkan udang tahan terhadap patogen tersebut (Kamiso, 1996).

Aplikasi mengenai beberapa imunostimulan pada bidang budidaya perairan masih berada dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh benih udang windu (Penaeus monodon) terhadap serangan penyakit yang disebabkan oleh WSSV.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan yang terbaik dari beberapa imunostimulan dalam meningkatkan Sintasan benur windu (Penaeus monodon, Fab) yang diuji tantang dengan White spote Syndrome virus (WSSV). Adapun manfaatnya adalah diharapkan dapat menjadi informasi dasar bagi masyarakat tentang imunostimulan yang terbaik dalam meningkatkan sintasan benur windu (Penaeus monodon, Fab).


 

MATERI DAN METODE PENELITIAN


 

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi dan Penyakit Ikan Balai Riset Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan.

Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Adapun perlakuan tersebut dengan beberapa imunostimulan, yaitu :

Perlakuan A    = Kontrol (tanpa imunostimulan).

Perlakuan B = Vitamin C dengan konsentrasi 0,05 ppm.

Perlakuan C    = Vaksin vibrio harveyi yang telah dimatikan dengan formalin 1%.

Perlakuan D = vaksin White spote syndrome virus


 

Persiapan

Tahap persiapan meliputi pengadaan dan persiapan alat dan sarana yang berhubungan dengan penelitian. Benur yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah PL 17-20 yang diperoleh dari panti pembenihan di Barru. Benur yang baru datang diberi formalin 200 ppm selama 30 menit kemudian dilepas dalam bak fiber untuk aklimatisasi terhadap suhu dan salinitas. Dua belas stoples yang telah disterilkan disusun secara acak dan diisi air sebanyak 2 liter kemudian dimasukkan 20 ekor benur udang windu ke dalam masing-masing wadah.

Vitamin C dan Vaksin Vibrio harveyi dan vaksin virus WSSV diaplikasikan masing-masing wadah percobaan pada hari ke 0, 4 dan 8 kemudian pada hari ke-12 dilakukan diuji tantang dengan menggunakan bakteri White spote Syndrome Virus (WSSV), 48 jam setelah uji tantang, selanjutnya dihitung sintasan udang.


 

Pembuatan Vaksin

Vaksin virus diperoleh dari hepatopankreas udang windu yang secara morfologis memepunyai bintik putih disebabkan oleh WSSV yang digerus hingga halus, kemudian dihomogenkan, disentrifugasi dan disaring dengan meggunakan filter millipore 450 nm. Filtratnya kemudian dimatikan dengan formalin 1% pada suhu 4oC kemudian disentrifugasi 5000 rpm selama 15-20 menit dan dicuci minimal 3 kali dengan laritan NaCl 0,85 % steril (larutan fisiologis).

Vaksin vibrio diperoleh dari kultur murni Vibrio harveyi dalam media cair (nutrien brouth), dimatikan dengan menambahkan formalin 1% selam 24 jam pada suhu 4oC, selanjutnya dicuci dengan NaCl 0,85% steril melalui proses sentrifugasi.

    

Penentuan LC50 Virus

Untuk mengetahui tingkat patogenitas virus WSSV terhadap benur windu, maka dilakukan uji LC 50 yang meliputi:

Uji Pendahuluan, Uji ini dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi ambang atas (LC 100 -24 jam) adalah konsentrasi terendah dimana semua hewan uji mati dalam waktu eksposure 24 jam dan ambang bawah (LC0 – 48 jam) adalah konsentrasi tertinggi dimana semua hewan uji hidup dalam waktu eksposure 48 jam.

Uji Lanjutan, Uji ini dilakukan dengan menggunakan 9 (sembilan) konsentrasi dianatara nilai ambang atas dan nilai ambang bawah. Deretan konsentrasi tersebut ditentukan dalam interval logaritmik. Selanjutnya nilai LC50 diperoleh dengan cara analisis probit berdasarkan tingkat kematian pada masing-masing konsentrasi


 

Uji Tantang

Untuk mengetahui efektivitas imunostimulan yang telah diberikan maka dilakukan uji tantang pada hari ke 12 dengan menggunakan suspensi virus WSSV konsentarsi LC50 (konsentrasi virus yang mematikan 50% udang uji) sebanyak 12 cc setiap stoples


 

Pengukuran Peubah

Pengamatan sintasan dilakukan dengan membandingkan antara jumlah udang pada awal penelitian dan jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian dengan menggunakan rumus (Effendi, 1979) :

SR = x 100 %

dimana :

SR = Sintasan (tingkat kelangsungan hidup) dalam persen (%).

Nt     = Jumlah udang pada akhir penelitian (ekor).

No = Jumlah udang pada awal penelitian (ekor).


 

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap sintasan udang uji, jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda Nyata Terkecil (Hanafiah, 1997). Data kualitas air dianalisa secara deskriptif.


 

HASIL DAN PEMBAHASAN


 

  1. Sintasan Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fab)

    Hasil pengamatan prosentase sintasan larva udang windu (Penaeus monodon Fab) setelah dilakukan uji tantang dengan bakteri Vibrio harvey pada jam ke 48 dapat dilihat pada Tabel 1.

     


     

        Tabel 1. Rataan Sintasan Larva Udang Windu (Panaeus monodon Fab) Setelah

    Diuji tantang Dengan Virus WSSV pada jam ke-96

    Perlakuan (Jenis Imonostimulan)

    Sintasan (%) 

    A = Kontrol (tanpa imunostimulan 

    20,00 a

    B = Vitamin C konsentrasi 0,05 ppm 

    38,33b

    C = Vaksin vibrio harveyi

    41,66 bc

    D = Vaksin WSSV 

    55,33c

        

     

    Dari Tabel 1 dan Gambar 2, terlihat bahwa sintasan benur windu (Penaeus monodon Fab) tertinggi diperoleh pada perlakuan D (penambahan vaksin WSSV) yaitu sebesar 55,33%, disusul Perlakuan C (penambahan Vaksin Vibrio harveyi) sebesar 41,66%, kemudian perlakuan B (dengan penambahan vitamin C dengan konsentrasi 0,05 ppm) sebesar 38,33% dan terakhir perlakuan A (tanpa imunostimulan) sebesar 20 %.

    Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa sintasan benur windu (Penaeus monodon Fab) dengan penambahan imonostimulan berbeda sangat nyata (P< 0,01), Idengan kontrol, ini berarti bahwa efektifitas imonostimulan memberikan pengaruh yang kuat terhadap peningkatan sistem kekebalan benur windu (Penaeus monodon Fab) untuk menekan mortalitas dari serangan vitus white spote syndrome virus (WSSV).

    Hasil uji lanjut BNT diperoleh perlakuan A (Tanpa imunostimulan), berpengaruh nyata (P < 0,05) dengan perlakuan B, dan sangat nyata (P < 0,01) dengan perlakuan C dan D. Namun perlakuan B dan C serta perlakuan C dan D tidak berbeda (P >0,05). Tingginya sintasan benur windu (Penaeus monodon Fab) pada perlakuan vaksin white spote syndrome virus (WSSV), hal ini disebabkan karena vaksin yang dibuat dari kultur murni virus white spote yang mampu mengaktivasi limfosit, demikian pula pada perlakuan dengan penambahan vaksin Vibrio harveyi yang juga diperoleh dari kurtur murni Vibrio harveyi. Antigen atau lipopolisakarida diperoleh dari kultur murni Vibrio harveyi berasal dari dinding sel negatif limfosit yang teraktivasi berubah menjadi sel T dan sel B yang selanjutnya akan berkembang menjadi sel plasma yang mampu memproduksi antibodi.

    Salah satu cara penanggulangan penyakit adalah dengan imunoprofilaksis yaitu meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, kekebalan terhadap penyakit dapat dipacu dengan pemberian imunostimulan termasuk vaksinasi dan vitamin (Anderson, 1992).

    Menurut Alday-Zanz (1995), bahwa udang memiliki sistem kekebalan tubuh promitif dibanding dengan vertebrata. Udang tidak memiliki imunoglobin dan limfosit T dan hanya tergantung pada respon inflamasi. Dalam hal ini, fagositosis memainkan peranan utama dan dikatakan sebagai mekanisme pertahanan seluler utama yang dilakukan oleh sel hyalin. Partikel-partikel asing difagositosis oleh haemosit dan dilumpuhkan dalam agregat-agregat nodular dari hyalin atau dienkapsulasi oleh sel.

    Lebih lanjut dikatakan bahwa aktivits dari reaksi seluler ini berhubungan dengan sistem oksidasi profenol (Pro-PO). Pro-PO sistem disimpan dalam granula dari haemosit granular dan semi granulat dan dilepaskan kedalam haemolif jika bertemu dengan benda asing. Produk akhir dari reaksi enzimatis ini adalah melanin, melanin mempunyai efek biosidal, oleh karena itu prose malanisasi sering dibarengi dengan reaksi pertahanan seluler.

    Pada perlakuan B (dengan penambahan vitamin C dengan konsentrasi 0,05 ppm) dengan sintasan 33,33% lebih tinggi dari perlakuan A (kontrol) dengan sintasan 20%. Akiyama (1992) menyatakan bahwa pada prinsipnya fungsi vitamin C untuk membantu menanggulangi pengaruh merugikan yang timbul akibat stress karena lingkungan, mengurangi kemungkinan keracunan karena pencemaran air, membantu pertahanan imun terhadap bekteri dan membantu pembentukan formasi kolagen.

    Pada perlakuan A (kontrol) dimana tanpa pemberian imunostimulan terlihat sintasan benur windu yang rendah pada semua perlakuan (20%), karena ketidakmampuan melawan serang virus WSSV pada saat uji tantang sehingga banyak benur windu yang mati.


     

  2. Kualitas Air

    Hasil pengamatan terhadap rataan kualitas air media pemeliharaan larva udang windu yang didapatkan selama pemeliharaan, ditampilkan pada Tabel 2.

     


 

    Tabel 2. Kisaran Data Pengamatan Beberapa Parameter Kualitas Air Media Uji

Parameter 

Rataan Hasil Pengukuran 


 

Awal 

Akhir 

A 

B 

C 

D 

Suhu (oC)

29,1 

29,2 

28,3 

29,3 

28,3 

Salinitas (o/oo)

28 

29 

29 

28 

29 

PH 

8,068 

8,06 

8,12 

8,25 

8,20 

NH4 (ppm)

0,806 

0,873 

0,889 

0,852 

0,905 

    

 

Salinitas merupakan salah satu peubah kualitas air yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan larva udang windu. Salinitas media pemeliharaan yang didapatkan selama penelitian berkisar 28 – 29 ppt yang masih berada pada batas optimal kehidupan larva udang windu. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Nurdjana dkk. (1988), bahwa untuk pertumbuhan optimal larva udang windu memerlukan kisaran 28 – 32 ppt. Sedangkan Semeru dan Anna (1992) batas yang layak untuk pertumbuhan larva udang windu adalah 12 – 30 ppt.

Derajat kemasaman (pH) media pemeliharaan larva udang windu yang didapatkan pada semua perlakuan selama penelitian berkisar 8,06 – 8,25, dimana berada dalam batas pH yang layak untuk kehidupan udang. Menurut Darmadi dan Ismail (1993), kisaran normal pH air untuk kehidupan udang bekisar antara 7,0 – 8,6.

Untuk menjaga kestabilan kehidupan larva udang windu selama pemeliharaan dibutuhkan suhu yang stabil. Kisaran suhu media pemeliharaan larva udang windu yang diperoleh pada setiap perlakuan adalah 28,3 – 29,3 ºC, dimana suhu tersebut masih mendukung larva udang windu untuk hidup dan berkembang. Hal senada dikemukakan oleh Darmadi dan Ismail (1993), bahwa suhu perairan yang baik bagi pertumbuhan dan kehidupan udang adalah 29 – 30 ºC walupun udang masih dapat hidup pada suhu 18 ºC dan 36 ºC, namun udang sudah tidak aktif. Sedangkan Manik dan Mintardjo (1983) menyatakan bahwa larva udang windu mempunyai kisaran suhu optimal bagi pertumbuhannya yaitu 29 – 31 ºC.

Amonia dalam air terdiri dari dua bentuk, yaitu amoniak (NH3) yang bersifat racun dan amonium (NH4) yangtidak bersifat racun, dimana amonia dihasilkan dari perombakan bahan-bahan organik. Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran amonium (NH4) selama penelitian adalah 0,852 ppm – 0,905 ppm. Menurut Haryanti et al (1992), kisaran amonium (NH4) masih aman dalam media adalah lebih kecil dari 1, 5 ppm, kirasan ini masih layak dan tidak membahayakan larva udang windu.

Berdasarkan hasil pengamatan parameter kualitas air, secara umum kualitas air media masih layak dan menunjang pertumbuhan dan sintasan larva udang windu.


 

KESIMPULAN DAN SARAN


 

Kesimpulan

  1. Imonostimulan dari vaksin virus WSSV memberikan sintasan tertinggi pada benur windu (Penaeus monodon Fab), menyusul vaksin Vibrio harveyi, dan vitamin C.
  2. Kualitas media lingkungan sangat mendukung kehidupan banur windu (Penaeus monodon Fab)


     

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut terhadap beberapa kombinasi jenis imonostimulan dan pemberian vaksin yang berulang agar dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh pada udang dalam upaya menekan kamatian dari serangan virus white spote symdrome virus (WSSV)
dan serangan penyalit lainnya


 

DAFTAR PUSTAKA


 

  1. Alday-Sanz V., 1995. Technical Report in Short Course on Shrimp Disease and Health Management, SpSNC – Levalin International Inc., in Association with International Development Program of Australian University and Colleges, PT. Hasfrom Dian Konsultan, Makassar.


     

  2. Anderson, D.P.,1992. Disease of Fishes. Book 12 : Fish Immunology. Ed. By S.F. Snieszko dan H.R. Axelrod, TFH. Pub., Nepture City.


     

  3. Anonim, 1996. Sistem Resirkulasi Pada Tambak Udang, Majalah Primadona Perikanan, Edisi Oktober 1994, Jakarta.


     

  4. Chang, P.S. and Y.C. Wang. 1992. Infection of White Spot Syndrome Association With non-Occluded Baculovirus and Wild Crustacean in Taiwan. SIP 29 th Annual Meeting and III rd International Colloqium of Bacillus Thuringiensis (Abstrac)


     

  5. Darmadi dan A Ismail., 1993. Tinjauan Beberapa Faktor Penyebab Kegagalan Usaha Budidaya Udang di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil Penelitian. Sub Balai Perikanan Budidaya Pantai, Bojonegoro – Serang, Cilegon, 11 Maret 1993.


     

  6. Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor, 122 Hal.


     

  7. Haryanti, M. Takano, S. Ismail, 1992. Pengelolaan Hatchery Udang, hal 26 – 33. Proseding Temu Karya Ilmiah. Denpasar, 3–4 Desember 1992, Bali.


     

  8. Kamiso, H.N., 1996. Metode Pencegahan Hama dan Penyekit Ikan Karantina Dengan Menggunakan Vaksin, Makalah disampaikan pada seminar Hama dan Penyakit Ikan Karantina. 13 Desember 1996. Cipanas Bogor. 18 hal


     

  9. Manik, R. dan K. Mintardjo, 1983. Kolam Ipukan. Dalam Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.


     

  10. Nurdjana, M.L.B., Martosudarmo dan B. Saleh, 1988. Pengelolaan Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.


     

  11. Lo, C.F., J.H. Leu, C.H. Chen, S.E. Peng. Y.T. Chen, Yen, C.H. Huang, H.Y. Chou, C.H. Wang, and G.H. Kou. 1996. Detection of Baculovirus Assosiatied With White spot Syndrome (WSBV) in Penaeid Shrimps Using Polymerase Chain Reaction. Dis Aquat Org, 25 : 133-144


     

  12. Scombes, C.J. 1994. Enhancement of Fish Phagocyte Activity. Fish and Shellfish Immmunology, 4 : 421-436.


 

  1. Sumeru, S.U., dan S. Anna, 1992. Pakan Udang Windu Penaeus monodon. Kanisius. Jakarta.


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar